Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kumpulan hukum-hikum mengkonsumsi obat bagi orang yang sedang berpuasa

Kumpulan Mengkonsumsi Obat-obatan Bagi orang yang Sedang Berpuasa.

Saudaraku, Kemungkinan saai ini anda sedang mencar-cari jawaban terkait permasalahan yang sedang saudara hadapi saat ini, saya berharap semua permasalahan yang sedang di hadapi dapat terjawab disini, aamiin.

Pertanyaan/permasalahan pertama.

Apa hukumnya menggunakan obat tetes bagi orang yang sedang berpuasa?

As-syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana Hukumnya Obat Tetes Hidung, Mata dan Telinga Bagi Orang yang Berpuasa?

bat tetes hidung jika tetesan itu sampai masuk ke dalam perut maka membatalkan puasa, seperti yang dijelaskan dalam hadits Luqaith bin Shabrah yang mana Nabi Shollallohu 'Alahi wa Sallam bersabda kepadanya,

“Sempurnakanlah dalam membersihkan hidung kecuali jika kalian sedang berpuasa.”(Diriwayatkan Abu Dawud).

Orang yang berpuasa tidak boleh meneteskan obat tetes pada hidungnya hingga masuk ke dalam perutnya. Sedangkan jika tetesan itu tidak masuk ke dalam perut maka tidak membatalkan. Adapun tentang obat tetes mata dan obat tetes telinga tidak membatalkan puasa, karena tidak ada nash yang menjelaskan tentang kebatalannya dan tidak ada pula
nash yang semakna dengannya.

Mata bukanlah sarana untuk makan dan minum., begitu juga telinga, dia seperti pori-pori kulit lainnya. Sebagian ilmuwan berkata bahwa jika seseorang digelitik telapak kakinya maka dia akan merasakan sesuatu di tengorokannya, tetapi hal itu tidak membatalkan puasa.

Begitu juga orang yang memakai celak, memakai tetes mata, atau tetes hidung tidak membatalkan puasa walaupun mendapatkan rasa pada tenggorokan.

Begitu juga jika seseorang mengolesi dirinya dengan minyak untuk berobat atau untuk selain berobat, maka hukumnya boleh.

Begitu juga jika seseorang sakit sesak nafas, lalu menggunakan oksigen yang disalurkan ke mulutnya agar mudah bernafas, tidak membatalkan puasa, karena hal itu tidak sampai ke perut, sehingga tidak dikategorikan makan atau minum.

Permasalahan/pertanyaan kedua:

Hukum melafazhkan Niat Puasa.

Permasalahan Melafadzkan Niat Puasa Romadzhon

 sesungguhnya sudah jelas sebagaimana Imam An Nawawi rohimahulloh –ulama besar dalam Madzhab Syafi’i-mengatakan, “Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”[Rowdhotuth Tholibin, 1/268 ] Semakin keliru lagi jika niat ini dibaca bareng-bareng selepas sholat tarawih.!

Seputar Niat Puasa

Al-Ustadz Hammad Abu Muawiah
Hukum Niat
Niat adalah rukun berpuasa sebagaimana pada seluruh ibadah. Nabi -Shollallohu alaihi wasallam- bersabda,

“Sesungguhnya setiap amalan itu (syah atau tidaknya) tergantung dengan niatnya dan setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan.” (HR.Al- Bukhori dan Muslim dari Umar bin Al-Khoththab)

Niat dalam ibadah, baik wudhu, sholat, puasa dan selainnya tidak perlu dilafazhkan. Ibnu Taimiah rahimahulloh -berkata,“Mengucapkan niat (secara jahr) tidak diwajibkan dan tidak pula disunnahkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.” (Majmu’ Al-Fatawa: 22/218-219) Dan dalam (22/236-237) beliau berkata,

“Niat adalah maksud dan kehendak, sedangkan maksud dan kehendak tempatnya adalah di hati, bukan di lidah, berdasarkan kesepakatan orang- orang yang berakal. Walaupun dia berniat dengan hatinya (tanpa memantapkannya dengan ucapan, pen.),

Maka niatnya syah menurut Imam Empat dan menurut seluruh imam kaum muslimin baik yang terdahulu maupun yang belakangan.” Maka sekedar bangunnya seseorang di akhir malam untuk makan sahur -padahal dia tidak biasa bangun di akhir malam-, itu sudah menunjukkan dia mempunyai maksud dan kehendak -dan itulah niat- untuk berpuasa.

Waktu Berniat
Diriwayatkan dengan sanad yang shohih dari Ibnu Umar dan Hafshah -Rodhiyallohu anhuma- bahwa keduanya berkata:
“Barangsiapa yang tidak memalamkan niatnya sebelum terbitnya fajar maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Abu Daud no. 2454, At-Tirmizi no. 730, An-Nasai (4/196), dan Ibnu Majah no. 1700)

Hadits ini disebutkan oleh sejumlah ulama mempunyai hukum marfu’, yakni dihukumi kalau Nabi yang mengucapkannya. Karena isinya merupakan sesuatutyang bukan berasal dari ijtihad dan pendapat pribadi.

Maka dari hadits ini jelas bahwa waktu niat adalah sepanjang malam sampai terbitnya fajar. Hadits ini juga menunjukkan wajibnya berniat dari malam hari dan tidak syahnya puasa orang yang berniat setelah terbitnya fajar. Ini adalah pendapat mayoritas Al-Malikiah, Asy-Syafi’iyah. dan Al-Hanabilah. Dan ini yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah, An-Nawawi, Ibnu Taimiah, Ash-Shan’ani dan Asy-Syaukani.

Catatan: Kecuali kalau dia baru mendengar kabar hilal romadzhon di pagi hari, maka ketika itu hendaknya dia berpuasa dan puasanya syah, karena tidak mungkin bagi dia untuk kembali berniat di malam hari. [Al-Mughni: 3/7, Al-Majmu’: 6/289-290, An-Nail: 4/196, dan Al-Muhalla no. 728]

Apakah Syah Berniat Di Awal Romadzhon Untuk Sebulan Penuh?
Pendapat yang menyatakannya syahnya adalah pendapat Zufar, Malik, salah satu riwayat dari Ahmad dan salah satu riwayat dari Ishaq. Hal itu karena puasa Romadzhon adalah satu kesatuan, sama seperti rangkaian ibadah haji yang cukup diniatkan sekali.

Sementara jumhur ulama berpendapat wajibnya berniat setiap malamnya berdalilkan hadits Hafshah dan Ibnu Umar di atas.

Mereka mengatakan: Karena jumlah malam dalam romadzhon adalah 29 atau 30 hari maka wajib untuk memalamkan niat pada tiap malam tersebut. Yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang pertama, dan ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiah dan Syaikh Ibnu Al-Utsaimin.

Akibat perbedaan pendapat ini nampak pada satu masalah yaitu: Jika seorang yang wajib berpuasa pingsan atau tidur sebelum terbenamnya matahari dan baru sadar atau bangun setelah terbitnya fajar kedua. Maka menurut pendapat mayoritas ulama, dia tidak boleh berpuasa dan puasanya tidak syah walaupun dia berpuasa sementara menurut pendapat yang kedua dia boleh berpuasa dan puasanya syah karena telah berniat di awal romadzhon.

Maka dari sini kami berkesimpulan bahwa yang kuat adalah pendapat yang pertama, yakni yang menyatakan bolehnya berniat di awal romadzhon untuk sebulan penuh, wallohu a’lam.

[Al-Mughni: 3/9, Al-Majmu’:6/302, Kitab Ash-Shiyam: 1/198-199, Asy-Syarhul Mumti’: 6/369, dan At-Taudhih: 3/151]

SUMBER : http://al-atsariyyah.com/?p=840
* * *
Apakah niat puasa Romadzhon disyaratkan pada setiap hari di bulan Romadzhon ataukah cukup dengan niat di
awal hari Ramadhan?

Al Ustadz Abu Zakariya Rishky Al Atsary

Dalam masalah ini, terdapat perbedaan pendapat dikalangan fuqaha dan ahlil-ilmi. Terdapat dua pendapat dikalangan mereka yang juga merupakan dua riwayat dari Imam Ahmad.

Pendapat pertama, bahwa niat diharuskan pada setiap hari pada bulan Romadzhon.

Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Mereka berargumen dengan hadits-hadits serta atsar yang mauquf kepada Hafshah, Ibnu Umar dan Aisyah -yang telah disebutkan sebelumnya-, bahwa tidak sah niat bagi yang tidak meniatkannya di waktu malam.

Dalam penafsiran ulama yang menyatakan pendapat ini, hadits dan atsar tersebut berlaku pada setiap hari di bulan Romadzhon secara terpisah. Disebabkan puasa Romadzhon adalah ibadah dan setiap ibadah disyaratkan adanya niat.

Mereka juga mengatakan, bahwa hal tersebut di analogikan kepada sholat lima waktu pada setiap hari, dimana diantara dua ibadah sholat terpisahkan dengan perbuatan-perbuatan yang bukan bagian dari ibadah sholat, bahkan menggugurkan ibadah sholat. Dengan demikian setiap sholat mengharuskan adanya niat tersendiri secara terpisah. Demikian halnya dengan ibadah puasa.

Pendapat kedua, niat hanya diharuskan sekali di awal bulan. Pendapat ini merupakan mazhab Imam Malik,
al-Laits bin Sa’ad, Imam Ahmad pada salah satu riwayat beliau dan Ishaq.

Argumentasi mereka adalah firman Alloh subhanahu,

“Bagi siapa yang mendapati bulan Romadzhon diantara kalian, maka diharuskan baginya berpuasa.” (Al-Baqoroh: 185)

Mereka mengatakan, bahwa penamaan bulan Romadzhon mengacu pada satu zaman waktu. Dan ibadah puasa Romadzhon dari awal hingga akhir adalah sebuah ibadah yang satu layaknya sholat dan haji, dengan begitu hanya membutuhkan sekali niat.

Dan juga dengan hadits Umar bin al-Khaththab -Rodhiyallohu ‘anhuyang masyhur, dimana Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya setiap amal haruslah disertai dengan niat. ..” Ash-Shan’ani mengatakan, ”Dikarenakan Romadzhon kedudukannya sama dengan sebuah ibadah, dan berbuka pada malam-malam Ramadhan juga merupakan ibadah, yang dengan berbuka tersebut akan membantu pengerjaan puasa pada siang hari Romadzhon.” Pendapat yang shohih, adalah pendapat yang kedua.

Sedangkan dalil-dalil yang dikemukakan oleh ulama yang berpendapat keharusan niat disetiap hari, telah diketahui ke-dha’ifannya. Dan atsar Hafshah, Ibnu Umar dan Aisyah sendiri, mujmal/global, dapat ditafsirkan pemberlakuannya -yakni niat- pada setiap hari, dan juga hanya pada sekali di awal Romadzhon.

Wallohu a’lam.