Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Selamat datang bulan suci Ramadhan

Marhaban ya Romadzhon, 
kita ucapkan untuk bulan suci itu, karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna melanjutkan perjalanan menuju Alloh Subhanahu Wata 'ala. Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya, itulah nafsu. Di gunung itu ada lereng yang curam, belukar yang lebat, bahkan banyak perampok yang mengancam, serta iblis yang
merayu, agar perjalanan tidak melanjutkan.
----------
Buletin Jum'at Edisi 58 - Jum'at, 24 Oktober 2003 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "marhaban" diartikan sebagai "kata seru untuk menyambut atau menghormati tamu (yang berarti selamat datang)." Ia sama dengan ahlan wa sahlan yang juga dalam kamus tersebut diartikan "selamat datang." Walaupun keduanya berarti "selamat datang" tetapi penggunaannya berbeda.

Para ulama tidak menggunakan ahlan wa sahlan untuk menyambut datangnya bulan Romadzhon, melainkan "marhaban ya Romadzhon".

Ahlan terambil dari kata ahl yang berarti "keluarga", sedangkan sahlan berasal dari kata sahl yang berarti mudah. Juga berarti "dataran rendah" karena mudahdilalui, tidak seperti "jalan mendaki".

Ahlan wa sahlan, adalah ungkapan selamat datang, yang dicelahnya terdapat kalimat tersirat yaitu, "(Anda berada di tengah) keluarga dan (melangkahkan kaki di) dataran rendah yang mudah." Marhaban terambil dari kata rahb yang berarti "luas" atau "lapang", sehingga marhaban menggambarkan bahwa tamu disambut dan diterima dengan dada lapang, penuh kegembiraan serta dipersiapkan baginya ruang yang luas untuk melakukan apa saja yang diinginkannya.

Dari akar kata yang sama dengan "marhaban", terbentuk kata rahbat yang antara lain berarti "ruangan luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan atau kebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan." Marhaban ya Romadzhon berarti "Selamat datang Romadzhon" mengandung arti bahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan; tidak dengan menggerutu dan menganggap kehadirannya "mengganggu ketenangan" atau suasana nyaman kita.

Marhaban ya Romadzhon, kita ucapkan untuk bulan suci itu, karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna melanjutkan perjalanan menuju Alloh Subhanahu Wata 'ala.

Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya, itulah nafsu. Di gunung itu ada lereng yang curam, belukar yang lebat, bahkan banyak perampok yang mengancam, serta iblis yang merayu, agar perjalanan tidak melanjutkan. Bertambah tinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan, semakin curam dan ganas pula perjalanan.

Tetapi, bila tekad tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampak tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan akan ditemukan kendaraan Ar-Rohman untuk mengantar sang musyafir bertemu dengan kekasihnya, Alloh Subhanahu Wata 'ala.

Demikian kurang lebih perjalanan itu dilukiskan dalam buku Madarij As-Salikin. Tentu kita perlu mempersiapkan bekal guna menelusuri jalan itu. Tahukah Anda apakah bekal itu? Benih-benih kebajikan yang harus kita tabur di lahan jiwa kita.

Tekad yang membaja untuk memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Romadzhon dengan sholat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada Alloh melalui pengabdian untuk agama, bangsa dan negara.

Semoga kita berhasil, dan untuk itu mari kita buka lembaran Al-Qur'an mempelajari bagaimana tuntunannya Puasa Menurut Al-Quran Al-Qur'an menggunakan kata shiyam sebanyak delapan kali, kesemuanya dalam arti puasa menurut pengertian hukum syariat.

Sekali Al-Qur'an juga menggunakan kata shoum, tetapi maknanya adalah menahan diri untuk tidak bebicara: Sesungguhnya Aku bernazar puasa (shauman), maka hari ini aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun (QS Maryam [19]:26).

Demikian ucapan Maryam 'Alaihissalam yang diajarkan oleh malaikat Jibril ketika ada yang mempertanyakan tentang kelahiran anaknya (Isa 'Alaihissalam).

Kata ini juga terdapat masing-masing sekali dalam bentuk perintah berpuasa di bulan Romadzhon, sekali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa "berpuasa adalah baik untuk kamu", dan sekali menunjuk kepada pelaku-pelaku puasa pria dan wanita, yaitu ash- shaimin washshaimat.

Kata-kata yang beraneka bentuk itu, kesemuanya terambil dari akar kata yang sama yakni sha-wa-ma yang dari segi bahasa maknanya berkisar pada "menahan" dan "berhenti atau "tidak bergerak". Kuda yang berhenti berjalan dinamai faras shaim. Manusia yang berupaya menahan diri dari satu aktivitas --apa pun aktivitas itu-- dinamai shaim (berpuasa).

Pengertian kebahasaan ini, dipersempit maknanya oleh hukum syariat, sehingga shiyam hanya digunakan untuk "menahan diri dar makan, minum, dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari". Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan kegiatan yang harus dibatasi selama melakukan puasa. Ini mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh bahkan hati dan pikiran dari melakukan segala macam dosa.

Betapa pun, shiyam atau shoum --bagi manusia-- pada hakikatnya adalah menahan atau mengendalikan diri. Karena itu pula puasa dipersamakan dengan sikap sabar, baik dari segi pengertian bahasa (keduanya berarti menahan diri maupun esensi kesabaran dan puasa. Hadis qudsi yang menyatakan antara lain bahwa,

"Puasa untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran" dipersamakan oleh banyak ulama dengan firman-Nya dalam surat Az-Zumar (39): 10.

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas. Orang sabar yang dimaksud di sini adalah orang yang berpuasa.

Ada beberapa macam puasa dalam pengertian syariat/hukum sebagaimana disinggung di atas.

1. Puasa wajib sebutan Ramadhan.
2. Puasa kaffarat, akibat pelanggaran, atau semacamnya.
3. Puasa sunnah.

Tulisan ini akan membatasi uraian pada hal-hal yang berkisar pada puasa bulan Romadzhon.

Puasa Romadzhon
Uraian Al-Quran tentang puasa Romadzhon, ditemukan dalam surat Al- Baqoroh (2): 183, 184,185, dan 187.

Ini berarti bahwa puasa Romadzhon baru diwajibkan setelah Nabi Shollallohu 'alaihi wasallam. tiba di Madinah, karena ulama Al-Quran sepakat bahwa surat Al-Baqarah turun di Madinah.

Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan puasa Romadzhon ditetapkan
Allah pada 10 Sya'ban tahun kedua Hijrah.

Apakah kewajiban itu langsung ditetapkan oleh Al- Qur'an selama sebutan penuh, ataukah bertahap? Kalau melihat sikap Al-Qur'an yang seringkali melakukan penahapan dalam perintah- perintahnya, maka agaknya kewajiban berpuasa pun dapat dikatakan demikian.

Ayat 184 yang menyatakan ayyaman ma'dudat (beberapa hari tertentu) dipahami oleh sementara ulama sebagai tiga hari dalam sebutan yang merupakan tahap awal dari kewajiban berpuasa.

Hari-hari tersebut kemudian diperpanjang dengan turunnya ayat 185: Barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu (Romadzhon), maka hendaklah ia berpuasa (selama bulan itu), dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya. Pemahaman semacam ini menjadikan ayat-ayat puasa Romadzhon terputus- putus tidak menjadi satu kesatuan. Merujuk kepada ketiga ayat puasa Romadzhon sebagai satu kesatuan, penulis lebih cenderung mendukung pendapat ulama yang menyatakan bahwa Al-Qur'an mewajibkannya tanpa penahapan.

Memang, tidak mustahil bahwa Nabi dan sohabatnya yang telah melakukan puasa sunnah sebelumnya. Namun itu bukan kewajiban dari Al-Qur'an, apalagi tidak ditemukan satu ayat pun yang berbicara tentang puasa sunnah tertentu.

Uraian Al-Qur'an tentang kewajiban puasa di bulan Romadzhon, dimulai dengan satu pendahuluan yang mendorong umat islam untuk melaksanakannya dengan baik tanpa sedikit kekesalan pun.

Perhatikan surat Al-Baqoroh (2): 185. ia dimulai dengan panggilan mesra, "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu berpuasa."

Di sini tidak dijelaskan siapa yang mewajibkan, belum juga dijelaskan berapa kewajiban puasa itu, tetapi terlebih dahulu dikemukakan bahwa,

"sebagaimana diwajibkan terhadap umat-umat sebelum kamu."
Jika demikian, maka wajar pula jika umat Islam melaksanakannya, apalagi tujuan puasa tersebut adalah untukepentingan yang berpuasa sendiri yakni "agar kamu bertakwa (terhindar dari siksa)."

Kemudian Al-Qur'an dalam surat A1-Baqoroh (2): 186 menjelaskan bahwa kewajiban itu bukannya sepanjang tahun, tetapi hanya "beberapa hari tertentu," itu pun hanya diwajibkan bagi yang berada di kampung halaman tempat tinggalnya, dan dalam keadaan sehat, sehingga "barangsiapa sakit atau dalam perjalanan," maka dia (boleh) tidak berpuasa dan menghitung berapa hari ia tidak berpuasa untuk digantikannya pada hari-hari yang lain.

"Sedang yang merasa sangat berat berpuasa, maka (sebagai gantinya) dia harus membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin."

Penjelasan di atas ditutup dengan pernyataan bahwa "berpuasa adalah baik." Setelah itu disusul dengan penjelasan tentang keistimewaan bulan Romadhon, dan dari sini datang perintah-Nya untuk berpuasa pada bulan tersebut, tetapi kembali diingatkan bahwa orang yang sakit dan dalam perjalanan (boleh) tidak berpuasa dengan memberikan penegasan mengenai peraturan berpuasa sebagaimana disebut sebelumnya.

Ayat tentang kewajiban puasa Romadzhon ditutup dengan "Alloh menghendaki kemudahdn untuk kamu bukan kesulitan," lalu diakhiri dengan perintah bertakbir dan bersyukur.

Ayat 186 tidak berbicara tentang puasa, tetapi tentang doa. Penempatan uraian tentang doa atau penyisipannya dalam uraian Al-Quran tentang puasa tentu mempunyai rahasia tersendiri.

Agaknya ia mengisyaratkan bahwa berdoa di bu1an Romadzhon merupakan ibadah yang sangat dianjurkan, dan karena itu ayat tersebut menegaskan bahwa "Alloh dekat kepada hamba-hamba-Nya dan menerima doa siapa yang berdoa."

Selanjutnya ayat 187 antara lain menyangkut izin melakukan hubungan seks di malam Romadzhon, di samping penjelasan tentang lamanya puasa yang harus dikerjakan, yakni dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Banyak informasi dan tuntunan yang dapat ditarik dari ayat-ayat di atas berkaitan dengan hukum maupun tujuan puasa.

Berikut akan dikemukan sekelumit baik yang berkaitan dengan hukum maupun hikmahnya, dengan menggarisbawahi kata atau kalimat dari ayat-ayat puasa di atas.

Beberapa Aspek Hukum Berkaitan dengan Puasa

A. Famang kana mingkum maridho (Siapa di antara kamu yang menderita sakit) Maridh berarti sakit.

Penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa secara garis besar dapat dibagi dua:

1. Penderita tidak dapat berpuasa; dalam hal ini ia wajib berbuka; dan
2. Penderita dapat berpuasa, tetapi dengan mendapat kesulitan atau keterlambatan penyembuhan, maka ia dianjurkan tidak berpuasa.

Sebagian ulama menyatakan bahwa penyakit apa pun yang diderita oleh seseorang, membolehkannya untuk
berbuka. Ulama besar ibnu Sirin, pernah ditemui makan di siang hari bukan Romadzhon, dengan alasan jari telunjuknya sakit. Betapa pun, harus dicatat, bahwa Al-Qur'an tidak merinci persolan ini.

Teks ayat mencakup pemahaman ibnu Sirin tersebut. Namun demikian agaknya kita dapat berkata bahwa Alloh Subhanahu Wata 'ala. sengaja memilih redaksi demikian, guna menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing untuk menentukan sendiri apakah ia berpuasa atau tidak.

Di sisi lain harus diingat bahwa orang yang tidak berpuasa dengan alasan sakit atau dalam perjalanan tetap harus menggantikan hari-hari ketika ia tidak berpuasa dalam kesempatan yang lain.

B. Aw'ala safarin (atau dalam perjalanan) Ulama-ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa bagi orang yang sedang musyafir.

Perbedaan tersebut berkaitan dengan jarak perjalanan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa jarak perjalanan tersebut sekitar 90 kilometer, tetapi ada juga yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga seberapa pun jarak yang ditempuh selama dinamai safar atau
perjalanan, maka hal itu merupakan izin untuk memperoleh kemudahan (rukhshah).

Perbedaan lain berkaitan dengan 'illat (sebab) izin ini.

Apakah karena adanya unsur safar (perjalanan) atau unsur keletihan akibat perjalanan. Di sini, dipermasalahkan misalnya jarak antara Jakarta- Yogya yang ditempuh dengan pesawat kurang dari satu jam, serta tidak meletihkan, apakah ini dapat dijadikan alasan untuk berbuka atau meng-qashar shalat atau tidak. Ini antara lain berpulang kepada tinjauan sebab izin ini.

Selanjutnya mereka juga memperselisihkan tujuan perjalanan yang membolehkan berbuka (demikian juga
qashar dan menjamak shalat).

Apakah perjalanan tersebut harus bertujuan dalam kerangka ketaatan kepada Alloh, misalnya perjalanan haji, silaturohmi, belajar, atau termasuk juga perjalanan bisnis dan mubah (yang dibolehkan) seperti wisata dan sebagainya? Agaknya alasan yang memasukkan hal-hal di atas sebagai membolehkan berbuka, lebih kuat, kecuali jika perjalanan tersebut untuk perbuatan maksiat, maka tentu yang bersangkutan tidak memperoleh izin untuk berbuka dan atau menjamak sholatnya.

Bagaimana mungkin orang yang durhaka memperoleh rahmat kemudahan dari Alloh Subhanahu Wata 'ala?
Juga diperselisihkan apakah yang lebih utama bagi seorang musyafir, berpuasa atau berbuka?

Imam Malik dan imam Syafi'i menilai bahwa berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi sebagian besaulama bermadzhab Maliki dan Syafi'i menilai bahwa hal ini sebaiknya diserahkan kepada masing-masing pribadi, dalam arti apa pun pilihannya, maka itulah yang lebih baik dan utama.

Pendapat ini dikuatkan oleh sebuah riwayat dari imam Bukhori dan Muslim melalui Anas bin Malik yang menyatakan bahwa, "Kami berada dalam perjalanan di bulan Romadzhon, ada yang berpuasa dan adapula yang tidak berpuasa. Nabi tidak mencela yang berpuasa, dan tidak juga (mereka) yang tidak berpuasa."

Memang ada juga ulama yang beranggapan bahwa berpuasa lebih baik bagi orang yang mampu. Tetapi, sebaliknya, ada pula yang menilai bahwa berbuka lebih baik dengan alasan, ini adalah izin Alloh. Tidak baik menolak izin dan seperti penegasan Al-Qur'an sendiri dalam konteks puasa,

"Alloh menghendaki kemudahan untuk kamu dan tidak menghendaki kesulitan."

Bahkan ulama-ulama Zhahiriyah dan Syi'ah mewajibkan berbuka, antara lain berdasar firman-Nya dalam lanjutan ayat di atas, yaitu:

C. Fa 'iddatun min ayyamin ukhar (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain).

Ulama keempat mazhab Sunnah menyisipkan kalimat untuk meluruskan redaksi di atas, sehingga terjemahannya lebih kurang berbunyi:

"Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (dan ia tidak berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain."

Kalimat "lalu ia tidak berpuasa" adalah sisipan yang oleh ulama perlu adanya, karena terdapat sekian banyak hadis yang membolehkan berpuasa dalam perjalanan, sehingga kewajiban mengganti itu, hanya ditujukan kepada para musyafir dan orang yang sakit tetapi tidak berpuasa.

Sisipan semacam ini ditolak oleh ulama Syi'ah dan Zhohiriyah, sehingga dengan demikian --buat mereka--menjadi wajib bagi orang yang sakit dan dalam perjalanan untuk tidak berpuasa, dan wajib pula menggantinya pada hari-hari yang lain seperti bunyi harfiah ayat di atas.

Apakah membayar puasa yang ditinggalkan itu harus berturut-turut? Ada sebuah hadis --tetapi dinilai lemah-- yang menyatakan demikian.

Tetapi ada riwayat lain melalui Aisyah Rodiyallohu 'anha, yang menginformasikan bahwa memang awalnya ada kata pada ayat puasa yang berbunyi mutatabi'at, yang maksudnya memerintahkan penggantian (qadho') itu harus dilakukan bersinambung tanpa sehari pun berbuka sampai selesainya jumlah yang diwajibkan.

Tetapi kata mutatabi'at dalam fa 'iddatun min ayyamin ukhar mutatabi'at yang berarti berurut atau bersinambung itu, kemudian dihapus oleh Alloh Subhanahu Wata 'ala. Sehingga akhirnya ayat tersebut tanpa kata ini, sebagaimana yang tercantum dalam Mushaf sekarang. Meng-qadho' (mengganti) puasa, apakah harus segera, dalam arti harus dilakukannya pada awal Syawal ataukah dapat ditangguhkan sampai sebelum datangnya Romadzhon berikut?

Hanya segelintir kecil ulama yang mengharuskan sesegera mungkin, namun umumnya tidak mengharuskan ketergesaan itu, walaupun diakui bahwa semakin cepat semakin baik. Nah, bagaimana kalau Romadzhon berikutnya sudah berlalu, kemudian kita tidak sempat menggantinya, apakah ada kaffarat akibat keterlambatan itu?

Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad, berpendapat bahwa di samping berpuasa, ia harus membayar kaffarat berupa memberi makan seorang miskin; sedangkan imam Abu Hanifah tidak mewajibkan kaffarat dengan alasan tidak dicakup oleh redaksi ayat di atas.

D. Wa 'alal ladzina yuthiqunahu fidyatun tha'amu miskin (Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin) (QS Al-Baqoroh [2]: 184).

Penggalan ayat ini diperselisihkan maknanya oleh banyak ulama tafsir. Ada yang berpendapat bahwa pada mulanya Alloh Subhanahu Wata 'ala. memberi alternatif bagi orang yang wajib puasa, yakni berpuasa atau berbuka dengan membayar fidyah. Ada juga yang berpendapat bahwa ayat ini berbicara tentang para musyafir dan orang sakit, yakni bagi kedua kelompok ini terdapat dua kemungkinan: musyafir dan orang yang merasa berat untuk berpuasa, maka ketika itu dia harus berbuka; dan ada juga di antara mereka, yang pada hakikatnya mampu berpuasa, tetapi enggan karena kurang sehat dan atau dalam perjalanan, maka bagi mereka diperbolehkan untuk berbuka dengan syarat membayar fidyah. Pendapat-pendapat di atas tidak populer di kalangan mayoritas ulama.

Mayoritas memahami penggalan ini berbicara tentang orang-orang tua atau orang yang mempunyai pekerjaan yang sangat berat, sehingga puasa sangat memberatkannya, sedang ia tidak mempunyai sumber rezeki lain kecuali pekerjaan itu. Maka dalam kondisi semacam ini. mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan syarat membayar fidyah.

Demikian juga halnya terhadap orang yang sakit sehingga tidak dapat berpuasa, dan diduga tidak akan sembuh dari penyakitnya. Termasuk juga dalam pesan penggalan ayat di atas adalah wanita-wanita hamil dan atau menyusui. Dalam hal ini terdapat rincian sebagai berikut:

Wanita yang hamil dan menyusui wajib membayar fidyah dan mengganti puasanya di hari lain, seandainya yang mereka khawatirkan adalah janin atau anaknya yang sedang menyusui. Tetapi bila yang mereka khawatirkan diri mereka, maka mereka berbuka dan hanya wajib menggantinya di hari lain, tanpa harus membayar fidyah.

Fidyah dimaksud adalah memberi makan fakir/miskin setiap hari selama ia tidak berpuasa. Ada yang berpendapat sebanyak setengah sha' (gantang) atau kurang lebih 3,125 gram gandum atau kurma (makanan pokok). Ada juga yang menyatakan satu mud yakni sekitar lima perenam liter, dan ada lagi yang mengembalikan penentuan jumlahnya pada kebiasaan yang berlaku pada setiap masyarakat.

E. Uhilla lakum lailatash-shiyamir-rafatsu ila nisa'ikum (Dihalalkan kepada kamu pada malam Ramadhan bersebadan dengan istri-istrimu) (QS Al-Baqoroh [2]:187)

Ayat ini membolehkan hubungan seks (bersebadan) di malam hari bulan Ramadhan, dan ini berarti bahwa di siang hari Romadzhon, hubungan seks tidak dibenarkan. Termasuk dalam pengertian hubungan seks adalah "mengeluarkan sperma" dengan cara apa pun. Karena itu walaupun ayat ini tak melarang ciuman, atau pelukan antar suami- istri, namun para ulama mengingatkan bahwa hal tersebut bersifat makruh, khususnya bagi yang tidak dapat menahan diri, karena dapat mengakibatkan keluarnya sperma. Menurut istri Nabi, Aisyah Rodiyallohu 'anha., Nabi Shollalloh. pernah mencium istrinya saat berpuasa. Nah, bagi yang mencium atau apa pun selain berhubungan seks, kemudian ternyata "basah", maka puasanya batal; ia harus menggantinya pada hari lain. Tetapi mayoritas ulama tidak mewajibkan yang bersangkutan membayar kaffarat, kecuali jika ia melakukan hubungan seks (di siang hari), dan kaffaratnya dalam hal ini berdasarkan hadits Nabi adalah berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, maka ia harus memerdekakan hamba. Jika tidak mampu juga, maka ia harus memberi makan enam puluh orang miskin.

Bagi yang melakukan hubungan seks di malam hari, tidak harus mandi sebelum terbitnya fajar. Ia hanya berkewajiban mandi sebelum terbitnya matahari -- paling tidak dalam batas waktu yang memungkinkan ia shalat subuh dalam keadaan suci pada waktunya. Demikian pendapat mayoritas ulama.

F. Wakulu wasyrabu hatta yatabayyana lakumul khaith al-abyadhu minal khaithil aswadi minal fajr (Makan dan minumlah sampai terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar).

Ayat ini membolehkan seseorang untuk makan dan minum (juga melakukan hubungan seks) sampai terbitnya fajar. Pada zaman Nabi, beberapa saat sebelum fajar, Bilal mengumandangkan azan, namun beliau mengingatkan bahwa bukan itu yang dimaksud dengan fajar yang mengakibatkan larangan di atas. Imsak yang diadakan hanya sebagai peringatan dan
persiapan untuk tidak lagi melakukan aktivitas yang terlarang. Namun bila dilakukan, maka dari segi hukum masih dapat dipertanggungjawabkan selama fajar (waktu subuh belum masuk). Perlu dingatkan, bahwa hendaknya kita jangan terlalu mengandalkan azan, karena boleh jadi muazin mengumandangkan azannya setelah berlalu beberapa saat dari waktu subuh. Karena itu sangat beralasan untuk menghentikan aktivitas tersebut saat imsak.

G. Tsumma atimmush shiyama ilal lail (Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam).

Penggalan ayat ini datang setelah ada izin untuk makan dan minum sampai dengan datangnya fajar. Puasa dimulai dengan terbitnya fajar, dan berakhir dengan datangnya malam. Persoalan yang juga diperbincangkan oleh para ulama adalah pengertian malam. Ada yang memahami kata malam dengan tenggelamnya matahari walaupun masih ada mega
merah, dan ada juga yang memahami malam dengan hilangnya mega merah dan menyebarnya kegelapan.

Pendapat pertama didukung oleh banyak hadis Nabi Saw., sedang pendapat kedua dikuatkan oleh pengertian kebahasaan dari lail yang diterjemahkan "malam". Kata lail berarti "sesuatu yang gelap" karenanya rambut yang berwarna hitam pun dinamai lail. Pendapat pertama sejalan juga dengan anjuran Nabi Shollallohu 'alaihi Wasallam. untuk mempercepat berbuka puasa dan memperlambat sahur pendapat kedua sejalan dengan sikap kehatian-hatian karena khawatir magrib sebenarnya belum masuk.

Demikian sedikit dari banyak aspek hukum yang dicakup oleh ayat-ayat yang berbicara tentang puasa Ramadhan.

Tujuan Berpuasa

Secara jelas Al-Qur'an menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendaknya diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwaan atau la'allakum tattaqun. Dalam rangka memahami tujuan tersebut agaknya perlu digarisbawahi beberapa penjelasan dari Nabi Shollallohu 'alaihi Wasallam misalnya, "Banyak di antara orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu daripuasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga." Ini berarti bahwa menahan diri dari lapar dan dahaga bukan tujuan utama dari puasa. Ini dikuatkan pula dengan firman-Nya bahwa "Alloh menghendaki untuk kamu kemudahan bukan kesulitan."

Di sisi lain, dalam sebuah hadis qudsi, Alloh berfirman, "Semua amal putra-putri Adam untuk dirinya, kecuali puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang memberi ganjaran atasnya."

Ini berarti pula bahwa puasa merupakan satu ibadah yang unik. Tentu saja banyak segi keunikan puasa yang dapat dikemukakan, misalnya bahwa puasa merupakan rahasia antara Alloh dan pelakunya sendiri. Bukankah manusia yang berpuasa dapat bersembunyi untuk minum dan makan? Bukankah sebagai insan, siapa pun yang berpuasa, memiliki keinginan untuk makan atau minum pada saat-saat tertentu dari siang hari puasa? Nah, kalau demikian, apa motivasinya
menahan diri dan keinginan itu? Tentu bukan karena takut atau segan dari manusia, sebab jika demikian, dia dapat saja bersembunyi dari pandangan mereka. Di sini disimpulkan bahwa orang yang berpuasa, melakukannya demi karena Alloh Subhanahu Wata 'ala. Demikian antara lain penjelasan sementara ulama tentang keunikan puasa dan makna hadis qudsi di atas.

Sementara pakar ada yang menegaskan bahwa puasa dilakukan manusia dengan berbagai motif, misalnya, protes, turut belasungkawa, penyucian diri, kesehatan, dan sebagai-nya. Tetapi seorang yang berpuasa Romadzhon dengan benar, sesuai dengan cara yang dituntut oleh Al-Qur'an, maka pastilah ia akan melakukannya karena Alloh semata.

Di sini Anda boleh bertanya, "Bagaimana puasa yang demikian dapat mengantarkan manusia kepada takwa?"
Untuk menjawabnya terlebih dahulu harus diketahui apa yang dimaksud dengan takwa.

Puasa dan Takwa

Takwa terambil dari akar kata yang bermakna menghindar, menjauhi, atau menjaga diri. Kalimat perintah ittaqulloh secara harfiah berarti, "Hindarilah, jauhilah, atau jagalah dirimu dari Alloh" Makna ini tidak lurus bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk. Bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari Alloh atau menjauhi-Nya, sedangkan "Dia (Alloh) bersama kamu di mana pun kamu berada." Karena itu perlu disisipkan kata atau kalimat untuk meluruskan
maknanya. Misalnya kata siksa atau yang semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung arti perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Alloh. Sebagaimana kita ketahui, siksa Alloh ada dua macam.

a. Siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap hukum- hukum Tuhan yang ditetapkan-Nya berlaku di alam raya ini, seperti misalnya, "Makan berlebihan dapat menimbulkan penyakit," "Tidak mengendalikan diri dapat menjerumuskan kepada bencana", atau "Api panas, dan membakar", dan hukum-hukum alam dan masyarakat lainnya.

b. Siksa di akhirat, akibat pelanggaran terhadap hukum syariat, seperti tidak shalat, puasa, mencuri, melanggar hak-hak manusia, dan 1ain-lain yang dapat mengakibatkan siksa neraka.

Syaikh Muhammad Abduh menulis, "Menghindari siksa atau hukuman Alloh, diperoleh dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarangnya serta mengikuti apa yang diperintahkan-Nya. Hal ini dapat terwujud dengan rasa takut dari siksaan dan atau takut dari yang menyiksa (Alloh ). Rasa takut ini, pada mulanya timbul karena adanya siksaan, tetapi seharusnya ia timbul karena adanya Alloh Subhanahu Wata 'ala. (yang menyiksa)."

Dengan demikian yang bertakwa adalah orang yang merasakan kehadiran Alloh Subhanahu Wata 'ala. setiap saat, "bagaikan melihat-Nya atau kalau yang demikian tidak mampu dicapainya, maka paling tidak, menyadari bahwa Alloh melihatnya," sebagaimana bunyi sebuah hadits. Tentu banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencapai hal tersebut, antara lain dengan jalan berpuasa. Puasa seperti yang dikemukakan di atas adalah satu ibadah yang unik. Keunikannya antara lain karena ia merupakan upaya manusia meneladani Alloh Subhanahu Wata 'ala

Puasa Meneladani Sifat-Sifat Alloh

Beragama menurut sementara pakar adalah upaya manusia meneladani sifat-sifat Alloh, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk. Nabi Shollallohu 'alaihi wasallam. memerintahkan, "Takhallaqu bi akhlaq Alloh" (Berakhlaklah (teladanilah) sifat-sifat Alloh).

Di sisi lain, manusia mempunyai kebutuhan beranekaragam, dan yang terpenting adalah kebutuhan fa'ali, yaitu makan, minum, dan hubungan seks. Alloh Subhanahu Wata 'ala. memperkenalkan diri-Nya antara lain sebagai tidak mempunyai anak atau istri: Bagaimana Dia memiliki anak, padahal Dia tidak memiliki istri? (QS Al-An'am [6]: 101)

Dan sesungguhnya Maha tinggi kebesaran Tuhan kami. Dia tidak beristri dan tidak pula beranak (QS Al-Jin [72]:3).

Al-Quran juga memerintahkan Nabi Shollallohu 'alaihi wasallam. untuk menyampaikan, Apakah aku jadikan pelindung selain Alloh yang menjadikan langit dan bumi padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan...? (QS Al- An'am [6]:14).

Dengan berpuasa, manusia berupaya dalam tahap awal dan minimal mencontohi sifat-sifat tersebut. Tidak makan dan tidak minum, bahkan memberi makan orang lain (ketika berbuka puasa), dan tidak pula berhubungan seks, walaupun pasangan ada. Tentu saja sifat-sifat Alloh tidak terbatas pada ketiga hal itu, tetapi mencakup paling tidak sembilan puluh sembilan sifat yang kesemuanya harus diupayakan untuk diteladani sesuai dengan kemampuan dan kedudukan manusia sebagai makhluk ilahi. Misalnya Maha Pengasih dan Penyayang, Mahadamai, Mahakuat, Maha Mengetahui, dan lain-lain. Upaya peneladanan ini dapat mengantarkan manusia menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya, dan bila hal itu berhasil dilakukan, maka takwa dalam pengertian di atas dapat pula dicapai.

Karena itu, nilai puasa ditentukan oleh kadar pencapaian kesadaran tersebut --bukan pada sisi lapar dan dahaga-- sehingga dari sini dapat dimengerti mengapa Nabi Shollallohu 'alahi wasallam. menyatakan bahwa, "Banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga."

Puasa Umat Terdahulu

Puasa telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu. Kama kutiba 'alal ladzina min qablikum (Sebagaimana diwajibkan atas (umat-umat) yang sebelum kamu). Dari segi ajaran agama, para ulama menyatakan bahwa semua agama samawi, sama dalam prinsip-prinsip pokok akidah, syariat, serta akhlaknya. Ini berarti bahwa semua agama samawi mengajarkan keesaan Alloh, kenabian, dan keniscayaan hari kemudian. Shalat, puasa, zakat, dan berkunjung ke tempat tertentu sebagai pendekatan kepada Alloh adalah prinsip-prinsip syariat yang dikenal dalam agama-agama samawi. Tentu saja cara dan kaifiatnya dapat berbeda, namun esensi dan tujuannya sama.

Kita dapat mempertanyakan mengapa puasa menjadi kewajiban bagi umat islam dan umat-umat terdahulu?

Manusia memiliki kebebasan bertindak memilih dan memilah aktivitasnya, termasuk dalam hal ini, makan, minum, dan berhubungan seks. Binatang --khususnya binatang-binatang tertentu-- tidak demikian. Nalurinya telah mengatur ketiga kebutuhan pokok itu, sehingga --misalnya-- ada waktu atau musim berhubungan seks bagi mereka. Itulah hikmah Ilahi demi memelihara kelangsungan hidup binatang yang bersangkutan, dan atau menghindarkannya dari kebinasaan.

Manusia sekali lagi tidak demikian. Kebebasan yang dimilikinya bila tidak terkendalikan dapat menghambat pelaksanaan fungsi dan peranan yang harus diembannya. Kenyataan menunjukkan bahwa orang-orang yang memenuhi syahwat perutnya melebihi kadar yang diperlukan, bukan saja menjadikannya tidak lagi menikmati makanan atau minuman itu, tetapi juga menyita aktivitas lainnya kalau enggan berkata menjadikannya lesu sepanjang hari.

Syahwat seksual juga demikian. Semakin dipenuhi semakin haus bagaikan penyakit eksim semakin digaruk semakin nyaman dan menuntut, tetapi tanpa disadari menimbulkan borok.

Potensi dan daya manusia --betapa pun besarnya-- memiliki keterbatasan, sehingga apabila aktivitasnya telah digunakan secara berlebihan ke arah tertentu --arah pemenuhan kebutuhan faali misalnya-- maka arah yang lain, --mental spiritual-- akan terabaikan. Nah, di sinilah diperlukannya pengendalian. Sebagaimana disinggung di atas, esensi puasa adalah menahan atau mengendalikan diri. Pengendalian ini diperlukan oleh manusia, baik secara individu maupun kelompok. Latihan dan pengendalian diri itulah esensi puasa.

Puasa dengan demikian dibutuhkan oleh semua manusia, kaya atau miskin, pandai atau bodoh, untuk kepentingan pribadi atau masyarakat. Tidak heran jika puasa telah dikenal oleh umat-umat sebelum umat Islam, sebagaimana di informasikan oleh Al-Qur'an. Dari penjelasan ini, kita dapat melangkah untuk menemukan salah satu jawaban tentang rahasia pemilihan bentuk redaksi pasif dalam menetapkan kewajiban puasa. Kutiba 'alaikumush shiyama (diwajibkan atas kamu puasa), tidak menyebut siapa yang mewajibkannya? Bisa saja dikatakan bahwa pemilihan bentuk redaksi tersebut disebabkan karena yang mewajibkannya sedemikian jelas dalam hal ini adalah Alloh Subhanahu Wata 'ala. Tetapi boleh jadi juga untuk mengisyaratkan bahwa seandainya pun bukan Alloh yang mewajibkan puasa, maka manusia yang menyadari manfaat puasa, dan akan mewajibkannya atas dirinya sendiri. Terbukti motivasi berpuasa (tidak makan atau mengendalikan diri) yang selama ini dilakukan manusia, bukan semata-mata atas dorongan ajaran agama. Misalnya demi kesehatan, atau kecantikan tubuh, dan bukankah pula kepentingan pengendalian diri disadari oleh setiap makhluk yang berakal?

Di sisi lain bukankah Nabi Saw. bersabda, "Seandainya umatku mengetahui ( semua keistimewaan ) yang dikandung oleh Romadzhon, niscaya mereka mengharap seluruh bulan menjadi Romadzhon."

Keistimewaan Bulan Romadzhon

Dalam rangkaian ayat-ayat yang berbicara tentang puasa, Alloh menjelaskan bahwa Al-Qur'an diturunkan pada bulan Romadzhon. Dan pada ayat lain dinyatakannya bahwa Al-Qur'an turun pada malam Qadar, Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada Lailat Al- Qadr.

Ini berarti bahwa di bulan Romadzhon terdapat malam Qadar itu, yang menurut Al-Qur'an lebih baik dari seribu bulan. Para malaikat dan Ruh (Jibril) silih berganti turun seizin Tuhan, dan kedamaian akan terasa hingga terbitnya fajar.

Di sisi lain --sebagaimana disinggung pada awal uraian-- bahwa dalam rangkaian ayat-ayat puasa Romadzhon disisipkan ayat yang mengandung pesan tentang kedekatan Alloh Subhanahu Wata 'ala. kepada hamba-hamba-Nya serta janji-Nya untuk mengabulkan doa --siapa pun yang dengan tulus berdoa.

Dari hadis-hadis Nabi diperoleh pula penjelasan tentang keistimewaan bulan suci ini. Namun seandainya tidak
ada keistimewaan bagi Romadzhon kecuali Lailat Al-Qadr, maka hal itu pada hakikatnya telah cukup untuk membahagiakan manusia

Posting Komentar untuk "Selamat datang bulan suci Ramadhan"